13 Pasal Kontroversial di KUHP (Kitab Undang - Undang Hukum Pidana) Baru (6 Desember 2022)

”download[4]” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru (Desember 2022)

Download Free





Yasonna Laoly Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) menyatakan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, efektif berlaku tiga (3) tahun sesudah resmi disahkan DPR bersama Pemerintah.

Karena baru disahkan hari Selasa (6/12/2022), maka KUHP baru akan  berlaku tahun 2025 mendatang.

Mengutip draft final RUU KUHP versi 6 Desember 2022, pada pasal 624 ditetapkan, "Undang-Undang ini berlaku setelah 3 tahun terhitung sejak diundangkan."

Waktu tiga tahun cukup buat Pemerintah membuat aturan turunan serta melakukan sosialisasi, termasuk memberikan pelatihan kepada para penegak hukum dan pemangku kepentingan terkait.

Dalam keterangan pers pasca berlangsungnya Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dia bilang Pemerintah akan sosialisasikan UU KUHP kepada Jaksa, Hakim, Polisi, Advokat, Pegiat HAM, dan dosen/pengajar ilmu hukum.

“Jaksa, hakim, polisi, advokat, pegiat HAM, kampus-kampus juga agar tidak salah mengajar nanti. Harus ada dan kami harus menyusun dari sekarang sosialisasi terhadap stakeholders yang ada,” ujarnya.

Seperti diketahui, hari ini, DPR RI menyetujui Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai undang-undang, dalam Rapat Paripurna ke-11, Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.

Dalam laporannya di forum tertinggi DPR, Bambang Wuryanto Ketua Komisi III DPR menjelaskan proses pembentukan RKUHP melanjutkan pembahasan (carry over) dari DPR periode sebelumnya.

Legislator yang akrab disapa Bambang Pacul menegaskan, UU KUHP sangat penting untuk mereformasi hukum skala nasional, menyesuaikan perkembangan zaman.

Selanjutnya, Sufmi Dasco Ahmad Wakil Ketua DPR RI yang memimpin rapat meminta persetujuan seluruh anggota dewan untuk mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang.

Dari sembilan fraksi yang ada di parlemen, delapan memberikan persetujuan penuh. Sedangkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberikan persetujuan dengan catatan.

Mulai berlakunya KUHP Belanda di Indonesia tahun 1918, sudah 104 tahun sampai saat ini, Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak 1963. Produk Belanda tidak relevan lagi dengan Indonesia.

Perubahan versi RKUHP terakhir pada 9 November 2022 terdapat 627 pasal. Sebelumnya versi 6 Juli 2022 sebanyak 632 pasal.


Dari ratusan pasal tersebut, setidaknya terdapat 13 pasal kontroversial yang dipersoalkan dan jadi sorotan publik. 

Sejumlah pasal-pasal kontroversial di KUHP baru ini mengemuka lantaran dinilai multitafsir dan berpotensi menjadi pasal karet. 

1. Pasal penghinaan terhadap pemerintah atau penguasa/Presiden atau Wakil Presiden.

Pasal 218 mengatur ketentuan penghinaan kepada Kepala Negara/Presiden atau Wakil Presiden. Pelaku diancam hukuman tiga tahun penjara. Pasal ini merupakan delik aduan.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 218 ayat (1) RKUHP.

Ayat (2) pasal tersebut memberi pengecualian. Perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak termasuk kategori penyerangan kehormatan atau harkat martabat.

2. Tindak Pidana Makar

Pasal 192 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun.

Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.

3. Tindak Pidana Menghina Lembaga Negara

Pada pasal 349 mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan.

Pada ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.

Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial. Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati.

4. Tindak Pidana Demo Unjuk Rasa Tanpa Pemberitahuan

Pasal 256 memuat ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. 

"Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,".

5. Tindak Pidana Menyebarkan Berita Bohong

Pasal 263 mengatur soal penyiaran, penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong. Pasal ini, dapat menyasar pers atau pekerja media.

Pada Pasal 263 Ayat 1 dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp500 juta.

"Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," bunyi Pasal 263 Ayat 1.

Pasal 263 Ayat 2 berbunyi setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 atau denda Rp200 juta.

Pada 264 memuat ketentuan penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. 

6. Hukuman Koruptor Dikurangi

Pasal 603 mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, hukuman pidananya mengalami penurunan. Pada Pasal tersebut dijelaskan koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun dan maksimal 20 tahun. Selain itu, koruptor juga dapat dikenakan denda paling sedikit kategori II atau Rp10 juta dan paling banyak Rp2 miliar. 

"Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI."

Pidana pada KUHP baru ini lebih rendah dari ketentuan pidana penjara dalam Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Hukuman denda juga mengalami penurunan. Sebelumnya, dalam UU No 20/2001 koruptor didenda paling sedikit Rp200 juta.

7. Tindak Pidana Hubungan Seks Diluar Nikah

Pasal 413 mengatur ketentuan hubungan seks di luar pernikahan alias kumpul kebo. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 413 ayat (1) bagian keempat tentang Perzinaan. Dalam aturan tersebut, orang yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan dapat diancam pidana penjara satu tahun.

"Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi pasal 413 ayat (1).

Meski begitu, ancaman itu baru bisa berlaku apabila ada pihak yang mengadukan atau dengan kata lain delik aduan. Aturan itu mengatur pihak yang dapat mengadukan yakni suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. Lalu, orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

8. Tindak Pidana Menyebarkan Ajaran Komunis

Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara, dimana seseorang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunis, marxisme, dan leninisme terancam pidana 4 tahun penjara. 

"Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun," bunyi ayat 1.

Pada ayat 2 disebutkan ancaman pidana bisa bertambah hingga tujuh tahun jika tindakan penyebaran ajaran tersebut dilakukan dengan tujuan mengganti Pancasila sebagai dasar negara.

Ancaman pidana terhadap pelaku penyebaran ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme bisa bertambah hingga 15 tahun jika mengakibatkan kerusuhan, dan mengakibatkan kematian orang lain.

9. Tindak Pidana Santet

Pasal 252 mengatur ketentuan ancaman hukuman pidana bagi pelaku santet mencapai 1,5 tahun.

"Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal tersebut.

Hukuman menjadi lebih berat jika pelaku menjadikan santet sebagai mata pencaharian. KUHP menambah hukuman penjara 1/3 dari hukuman semula.

10. Tindak Pidana Vandalisme

Pasal 331 mengatur pidana untuk orang yang dianggap telah melakukan vandalisme dengan mencoret-coret dinding. Dalam KUHP, vandalisme dimasukan ke dalam bentuk kenakalan.

Dalam pasal tersebut dijelaskan pelaku kenakalan dapat dipidana denda kategori II atau sebanyak Rp10 juta.

"Setiap Orang yang di tempat umum melakukan kenakalan terhadap orang atau Barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, atau kesusahan, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II," bunyi Pasal 331.

11. Pidana Hukuman Mati

Pidana mati tercantum di Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, serta Pasal 102.

Pasal 67 berbunyi, "Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif".

Pasal 98 berbunyi, "Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat".

Pasal 99 mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman mati. Selanjutnya, pasal 100 mengatur terkait hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun.

12. Tindak Pidana HAM Berat

Tindak pidana terhadap hak asasi manusia (HAM) berat diatur dalam Pasal 598. Padahal, tindak pidana itu telah diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM karena bersifat khusus.

Dalam pasal tersebut, pelaku genosida atau memusnahkan golongan tertentu dapat dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20.

Genosida yang dimaksud dapat berbentuk:

a. membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok;

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh maupun sebagian;

d. memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa Anak dari kelompok ke kelompok lain.

"Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun," bunyi kutipan pasal tersebut.

13. Living Law (Hukum Adat)

Pada pasal 595 mengatur tentang aturan hukum adat atau living law. Pada Pasal 2 ayat 1 dijelaskan: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

Kemudian Pasal 2 ayat 2 dijelaskan: "Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab".